Kekuatan Seni sebagai Terapi
Berkegiatan seni, seperti menggambar, menulis, membuat clay, menari atau bermain musik dapat membantu seseorang dalam membangun resiliensi. Berkegiatan seni memberi ruang bagi kita untuk refleksi diri dan dapat membantu memproses emosi yang sulit. Menurut Stuckey & Nobel, selama dekade terakhir, psikolog kesehatan sudah mulai memakai seni dalam terapi klinis sebagai alat bantu. Media seni digunakan untuk menyembuhkan luka emosional, meningkatkan pemahaman diri sendiri dan orang lain, mengembangkan kapasitas diri, mengurangi gejala gangguan psikologis serta membantu mengubah perilaku dan pola berpikir seseorang.
The American Art Therapy Association mendefinisikan terapi seni sebagai profesi dan layanan kesehatan mental yang memperkaya kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat melalui peran aktif pembuatan karya seni, proses kreatif, teori psikologi terapan dan pengalaman manusia dalam hubungan psikoterapi. Terapi seni membantu proses psikoterapi dengan cara baru dan kreatif. Berbeda dengan pembuatan karya seni pada umumnya, psikoterapi seni berfokus pada proses, bukan fokus pada hasil akhir produk karya seni tersebut.
Seorang pakar art therapist, Dr. Cathy Malchiodi, menjelaskan bahwa penggunaan seni sebagai self-help, regulasi diri dan eksplorasi diri ada di mana-mana, baik dalam konteks klinis maupun non-klinis. Terapi seni dipandu oleh seorang terapis seni (art therapist) sebagai alat bantu psikoterapi untuk ekspresi dan komunikasi simbolis. Sedangkan Therapeutic art-making atau ‘art as therapy’ dapat dilakukan dalam keseharian secara mandiri atau dibimbing oleh fasilitator. Kegiatan art as therapy digunakan sebagai alat terapeutik dalam proses pemulihan, menjernihkan pikiran dan mengekspresikan diri, seperti yang diilustrasikan dalam gambar.
Seni sebagai Media Terapeutik
Diagram di atas menjelaskan bahwa membuat berkegiatan seni juga dapat menjadi alat terapeutik untuk menyembuhkan kedukaan yang mendalam. Berkarya membantu seseorang untuk mengekspresikan dan melepaskan emosi yang mendalam, terkadang menyakitkan. Sering kali, bagi beberapa orang mengakses emosi negatif tidaklah mudah dan belum tentu dapat diekspresikan melalui ucapan. Menulis atau menggambar bisa menjadi cara sehat lain untuk mengeluarkan perasaan dan pikiran terdalam seseorang.
Psikolog Amerika Serikat, Brad Benner, juga menegaskan bahwa kreativitas dapat mengurangi gejala depresi, stres dan kecemasan, bahkan meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh. Selain itu, sebuah studi di The Journal of Positive Psychology menyimpulkan bahwa “menghabiskan waktu untuk tujuan kreatif pada satu hari dikaitkan dengan skala Positive Affect (PA) yang lebih tinggi pada hari tersebut”. PA adalah salah satu skala yang paling banyak digunakan untuk mengukur suasana hati atau emosi yang positif, seperti kegembiraan, kebahagiaan, dan optimisme. Lanjutnya, cara otak bekerja saat melakukan kegiatan kreatif mirip dengan kegiatan meditasi atau latihan yoga yang membantu seseorang menemukan kedamaian dan ketenangan. Kegiatan kreatif pun dapat menghasilkan hormon bahagia alami yaitu endorfin, dopamin, oksitoksin dan serotonin, di mana beberapa fungsi dari hormon bahagia adalah mengatur suasana hati dan menghasilkan perasaan yang positif.
Duka dan Kreativitas
Kedukaan adalah reaksi normal dari kehilangan, namun karena rasa duka melibatkan ragam emosi negatif seperti kesedihan, kemarahan bahkan frustrasi, maka emosi-emosi tersebut harus disalurkan dengan cara sehat agar menghasilkan perasaan positif, salah satunya melalui seni terapeutik.
Tidak ada yang cara dan waktu yang ‘benar’ untuk mengatasi rasa duka. Setiap orang akan menemukan waktu dan caranya sendiri untuk mengatasi rasa dukanya. Selama proses itu berjalan, tentunya seseorang tetap harus membutuhkan keberanian untuk mulai mengatasi luka jiwa akibat rasa duka mendalam. Teori klasik psikologi kepribadian Adler percaya bahwa setiap orang lahir dengan kekuatan kreatif yang menjadi cikal bakal daya juang sehingga harus dipupuk. Akibat tahapan duka yang tidak linier dan bisa datang kembali saat orang tersebut terpicu oleh kenangan atau hal-hal tertentu, maka kreativitas harus terus dipupuk agar dapat membantu kemampuan resiliensi berkembang.
Seni terapeutik dan kreativitas bisa menjadi strategi emotional-based coping saat berduka. Menggunakan seni sebagai alat terapeutik membantu seseorang dalam merangkul rasa duka yang dapat hadir kembali sepanjang hidupnya. Karena kehidupan yang penuh dinamika juga menghadirkan kesulitan di sepanjang hidup seseorang, maka setiap orang harus belajar untuk bangkit kembali saat mengalami kesulitan atau tantangan hidup. Ketika kemampuan resiliensi terasah dengan baik, maka seseorang sudah dibekali cara menghadapi dan mengatasi permasalahan hidup sehingga tidak tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut. Pada akhirnya proses pemulihan diri atau masa transisi dapat berjalan secara sehat, positif dan kreatif.
Ikuti Latihan Meditasi Kreatif bareng Merakit Diri
Mind Art Exercise adalah salah satu program andalan Merakit Diri. Mind Art Exercise memberi kemudahan untuk mengeksplorasi rasa dan pikiran kita lewat aktivitas menggambar dan menulis, sehingga menjadi media terapeutik untuk menjaga kesehatan mental dan pengembangan diri seseorang. Sesi Mind Art Exercise BUKAN sesi terapi klinis maupun kelas belajar art & craft. Mind Art Exercise adalah latihan meditasi kreatif yang dapat menjadi media TERAPEUTIK untuk belajar mengolah rasa dan pikiran.
“Tapi saya gak kreatif, gak bisa gambar atau menulis.”
Kamu tidak perlu memiliki kemampuan artistik atau bakat khusus untuk berpartisipasi dalam sesi fasilitasi ini. Yang kamu perlukan hanya kemauan untuk mencoba. Kita bukan akan belajar menggambar dalam latihan ini. Kita akan latihan mengolah rasa dan pikiran melalui aktivitas seni, bukan belajar membuat sebuah produk seni/kerajinan tangan layaknya dalam kelas art & craft.
Berkarya terbukti membantu seseorang untuk mengekspresikan dan melepaskan emosinya. Melalui berkegiatan seni dan kreativitas, seseorang dapat mengolah perasaan terdalam karena melibatkan pikiran, emosi dan tindakan. Banyak orang sering kali merasa cukup nyaman dengan media seni dan menemukan cara untuk ‘didengar’ yang mungkin tidak terjadi dalam interaksi keseharian dengan lingkungannya.
Meditasi Kreatif untuk Refleksi Diri
Setiap orang pasti pernah merasakan stres, khawatir, sedih atau marah dan berbagai emosi lainnya, apalagi jika sedang dihadapkan oleh sebuah masalah. Menyisihkan waktu untuk refleksi diri akan meningkatkan kesadaran diri yang bisa membantu mengenali dan memahami emosi agar kita bisa mengambil tindakan untuk memperbaiki suasana hati atau keadaan. Melalui karya visual sendiri, kita dibantu untuk memahami isi pikiran dan rasa terdalam dengan cara yang menyenangkan dan menenangkan agar merasa lebih baik lagi.
Sesi Mind Art Exercise bermanfaat untuk:
-
- Mengolah pikiran dan mengelola emosi
- Menjaga kesehatan mental dan pemulihan
- Eksplorasi, motivasi, relaksasi dan refleksi diri
- Meningkatkan kepercayaan diri dan kesadaran diri
- Menenangkan dan menyenangkan hati
Mind Art Exercise bisa dilakukan semua orang, mulai dari usia anak-anak hingga lansia.
Penasaran seperti apa sih Mind Art Exercise?
Yuk! Intip akun instagram Mind Art Exercise. Lihat jadwal Mind Art Exercise dengan berbagai topik di instagram kami atau hubungi melalui WhatsApp 0813-888-22021.
Sumber:
AATA. (2017). About Art Therapy. American Art Therapy Association. https://arttherapy.org/about-art-therapy/
Benner, B. (2019, September 16). Creativity is Your Secret Advantage for Mental Health and Well-Being. Therapy Group of NYC.
Conner, T. S., DeYoung, C. G., & Silvia, P. J. (2016). Everyday creative activity as a path to flourishing. The Journal of Positive Psychology, 13(2), 181–189.
Malchiodi, C. (2015). Art Therapy: It’s Not Just an Art Project. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/arts-and-health/201507/art-therapy-it-s-not-just-art-project
Stuckey, H. L., & Nobel, J. (2010). The Connection Between Art, Healing, and Public Health: A Review of Current Literature. American Journal of Public Health, 100(2), 254–263.
Tran, V. (2013). Positive Affect Negative Affect Scale (PANAS) (M. D. Gellman & J. R. Turner, Eds.; 2013th ed.). Springer, New York, NY.